Harga mobil listrik masih Melambung Tinggi, Indonesia Masih Butuh Transisi

18 Oktober 2021 Oleh Jlcmobil

Thumbnail Berita

Industri otomotif nasional membutuhkan transisi sebelum menuju ke baterai kendaraan listrik (BEV). Alasannya adalah, mobil berubah dari mesin pembakaran internal (mesin pembakaran internal / es) ke BEV yang sangat radikal. Kondisi ini akan mengubah struktur industri otomotif nasional, dimulai dengan pemasok komponen, kepada konsumen. Dalam hal industri mobil, kombinasi industri kendaraan bermotor Indonesia (Gaikindo) menilai, transisi alami diperlukan dari es ke BEV. Sama seperti ketika dunia otomotif mengalami kemajuan teknologi dari sistem transmisi manual ke secara otomatis atau otomatis. Ini untuk menghindari dampak negatif dari perubahan dalam struktur industri otomotif. Ketua V Gaikindo Shodiq Wicaksono mengatakan, Indonesia membutuhkan mobil listrik, karena terus menurun pasokan bahan bakar fosil. BEV dapat mendorong pertumbuhan ekonomi melalui industrialisasi EV. "Mobil listrik juga dapat menurunkan emisi gas buang. Selain itu, pemerintah telah menetapkan target mobil 25 persen yang dijual pada tahun 2025 adalah mobil listrik," kata Shodiq di webinar "quo vadis industri otomotif Indonesia di era elektrifikasi", baru-baru ini. Namun, dia menekankan bahwa ada sejumlah tantangan yang dihadapi dalam mengembangkan BEV. Pertama, harga BEV masih mahal, yaitu Rp 600 juta, sementara daya beli konsumen masih di bawah Rp 300 juta. Akibatnya, penetrasi pasar kendaraan listrik di Indonesia masih relatif rendah, belum mencapai 1 persen dari total pasar. "PDB per kapita Indonesia saat ini berada di kisaran 4.000 dolar AS (AS), sehingga daya beli orang untuk mobil masih dalam Rp. 300 juta," kata Sodiq. Berdasarkan data Gaikindo, pada September 2021, penjualan BEV mencapai 611 unit, hanya 0,1 persen dari total pasar, sedangkan Phev 44 unit. Penjualan HEV mencapai 1.737 unit atau 0,3 persen.